Sepangkeng Kisah Gereja Katolik Kampung Sawah (4)
Pondok Gede dan sekitarnya pada akhir abad ke-19 dari udara - Foto : collectie tropenmuseum
F. Asal-Usul Orang Kampung Sawah
Dari mana asal-usul penduduk Kampung Sawah? Orang Kampung Sawah dapat disebut sebagai Indonesia kecil, maka tak heran, salah satu ciri orang Kampung Sawah adalah sikapnya yang terbuka dan toleran. Orang Kampung Sawah merupakan perpaduan pelbagai etnis yang ada di Indonesia sejak abad ke-19. Selain ada orang asli Kampung Sawah, yang beragama Islam (abangan) yang masih menggemari ngelmu, asal-usul orang Kampung Sawah berasal dari Banten (diduga merupakan sisa-sisa prajurit Mataram yang menyerang Batavia pada abad ke 17), Pedurenan, Cakung Payangan (diduga menurunkan keluarga besar Rikin, Lampung, dan Baiin); dan etnis Tionghoa yang telah tinggal sejak lama di Kampung Sawah.Selain itu, ada pula perpindahan penduduk dari penduduk Citrap, Gunung Putri. Mereka yang berasal dari Gunung Putri sebagian besar berasal dari pekerja perkebunan Major Jantje yang rata-rata beragama Kristen. Bersamaan dengan menyebarnya agama Kristen di beberapa daerah di Jawa, pada tahun 1880 - an , ada kelompok-kelompok orang Kristen dari lereng Gunung Muria, dari Desa Bondo, Jepara (jemaat Kiai Ibrahim Tunggal Wulung), dan Desa Modjowarno, Jember (jemaat Kiai Sadrach) yang bertransmigrasi ke Gunung Putri dan Kampung 17 Sawah. Perpindahan penduduk ini dapat disebut sebagai bedol desa, karena dilakukan bersama-sama satu desa beserta perangkatnya. Di antara kelompok Bondo terdapat Guru Benyamin Kadiman, cucu dari Kiai Ibrahim Tunggal Wulung, yang di kemudian hari menjadi seorang aktivis Gereja Katolik Kampung Sawah. Sementara itu, di antara kelompok Madjowarno terdapat kakek dari Bapak Dradjat Madjan, pendeta jemaat Gereja Kristen Pasundan Kampung Sawah di abad ke-20.
Dari proses perpindahan penduduk ke Kampung Sawah tersebut, tak ada catatan sejarah yang menyebutkan bahwa penduduk Kampung Sawah merupakan keturunan budak. Catatan ini diperkuat oleh kenyataan sejarah bahwa pada 1860, perbudakan telah resmi dihapus oleh pemerintahan Hindia Belanda.
G. Bahasa Kampung Sawah: Betawi “A”
Cobalah simak kisah tentang sirum berikut.
SIRUM 7
Matahari mulain miring ngulon. Bayangan di tanah udah sama panjang ama badan sebenernya. Waya gini enyak biasanya udah mulain masak nasi. Dablang yang ngeduplo di bale ngeliatan adenya, Plagud, lagi ngerjain PR, ngelongok ke dapur. Enyak lagi njadiin api. Nunggu mateng masak lumayan lama juga.
"Sembari nungguin enyak mateng masak mendingan kita nyari sirum, nyok," ajak Dablang pada Plagud adenya.
"Nyok, di mana Bang," Plagud antusias dan langsung nyimpen buku PRnya. Ndenger kata 'sirum' langsung aja pikiran Plagud ngebayangin suasana seru – memusatkan konsentrasi sembari deralapan mencari sirum.
"Sawah darat Mang Camin udah tiga ari ubinya dicabut. Pasti dah banyak sirum yang mulain nongol," Dablang langsung ngeloyor ke belakang rumah, jalan ke sawah darat yang jaraknya sekitar setengah kilo dari rumahnya.
"Nyak, pegih dulu ya. Mao nyari sirum," Dablang dan Plagud pamit.
Keduanya berjalan menembus kebon yang rimbun. Dia pada ngikutin jalan aer ujan yang bikin selokan kecil di kebon, terus turun ke sawah darat. Sampe di sawah darat Mang Camin, di sono udah ada Jipet ama Kiput. Dua-duanya juga mao nyari sirum.
Sirum adalah trubusan yang muncul dari ubi jalar yang ketinggalan selagi dipanen. Serunya nyari sirum adalah konsentrasi untuk menemukan sirum yang keluar ke permukaan tanah gembur bekas panen ubi jalar. Kejelian mata untuk membedakan mana sirum dan mana rumput atau tanaman lain merupakan keunggulan tersendiri.
Jika telah menemukan sirum, langsung aja tanah digali pake tangan. Di bawah tanah pasti ada ubi yang lumayan besar. Biasanya anak-anak langsung memakan ubi itu mentah-mentah, tanpa dicuci – bahkan cuci tangan pun tidak. Ubi yang telah terbenam di tanah dua atau tiga hari rasanya manis dan garing. Ada kenikmatan tersendiri memakan ubi mentah dari sirum.
Herannya, walau tanpa dicuci, tanpa dibuang kulitnya mereka yang memakan sirum tidak akan sakit perut. Inilah kemurahan alam ketika semua masih asri, tidak dirusak oleh bahan-bahan berbahaya seperti pestisida. Padahal saat menanam ubi, biasanya petani memberikan pupuk kandang – berupa kotoran kambing, sapi, dan sebagainya.
Dablang, Plagud, Jipet, dan Kiput terus berburu sirum. Makin sore makin banyak anak-anak yang ikut berburu sirum. Mereka pulang ketika matahari makin berat, makin mendekati tenggelam. Serenteng ubi yang diikat pake tali kedebong pisang dibawa pulang Dablang dan Plagud. Ini bisa dikukus buat sarapan besok pagi. (Diceritain: Eddy Pepe)
Jika kita menyimak kisah di atas, yang berbahasa Kampung Sawah, tampak bahwa bahasa Kampung Sawah merupakan salah satu ragam dialek dari bahasa Betawi. Bahasa Betawi, yang muncul dari perpaduan aneka bahasa di Batavia dan sekitarnya (sehingga banyak yang tak kentara asal bahasanya) pada pertengahan abad 19, mengenal pelbagai subdialek bahasa. Subdialek yang besar dikenal dengan sebutan subdialek Betawi Kota, dan subdialek Betawi Ora. Betawi Kota digunakan oleh mereka yang tinggal di Batavia. Subdialek Betawi Kota dibagi berdasarkan ucapannya, menjadi logat Mesteer (Kampung Melayu, Jatinegara, dan sekitarnya); logat Tanah Abang (Tanah Abang, Petamburan); logat Karet (Karet, Senayan, Kuningan, Menteng); logat Kebayoran; logat Kemandoran; dan logat Marunda.
Subdialek Betawi Ora digunakan di daerah pinggiran Batavia yang bersentuhan langsung dengan Bahasa Sunda dan Banten. Kampung Sawah jelas merupakan logat dari subdialek Betawi Ora.
Salah satu ciri besar yang membedakan antara subdialek Betawi Kota dan Betawi Ora logat Kampung Sawah adalah penggunaan kata-kata berbunyi akhir “e” yang tidak berlaku di Kampung Sawah. Bila Betawi Kota menyebut “kenape”, “kite”, dan “die”, maka dalam logat Kampung Sawah katakata tersebut menjadi “kenapa”, “kita”, dan “dia”.
Bahasa Betawi logat Kampung Sawah banyak mendapat pengaruh bahasa lain, seperti bahasa Jawa, Sunda, Arab, Cina, dan Belanda. Dari bahasa Arab misalnya, “bismillah”. Dari bahasa Jawa misalnya “banter” (dari banter), “mindo” (dari ping pindo), “kedalon” (dari kedaluan). Dari bahasa Sunda misalnya “genengan” (dari geuningan), “murun” (dari meureun), “pisan” (dari pisan). Dari bahasa Tionghoa khususnya Hokian, misalnya “gua” (dari wa), “elu” (dari lu), “encim”, dan “engko”.
H. Kristen Berkembang di Kampung Sawah
Di Kampung Sawah, ada seorang Bapak yang bernama Paul Rikin. Namanya kondang sampai Lemah Abang (Cikarang Timur), ditakuti dan disegani bukan hanya ilmunya yang tinggi, namun sikapnya yang arif dan bijaksana dalam pergaulan. Oleh Tuan Tanah Pondok Gede dia diangkat sebagai Juragan (setingkat dengan camat) yang membawahi beberapa kemandoran (setingkat dengan kelurahan).
Keluarga Paul Rikin telah menerima pewartaan Kristen dari murid-murid Anthing. Pertumbuhan dan perkembangan jemaat Kristen di Kampung Sawah lebih subur dibanding dengan Pondok Melati. Bapak Paul Rikin memiliki pergaulan yang luas, dari orang tua sampai anak-anak, suka menolong dan menampung orang-orang yang perlu ditolongnya, antara lain keluarga Peking dari Cileungsi, dan Cengkir dari Cilangkap.
Keluarga Rikin memegang pemerintahan. Keluarga tersebut juga setia dalam penghayatan Iman. Faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab perkembangan jemaat tumbuh subur dan berkembang.
Jemaat Kampung Sawah di kemudian hari berjumlah sekitar 100 orang, tapi hanya separuhnya yang datang ke gereja pada hari Minggu. Zendeling atau Penginjil Albers melaporkan bahwa pada awalnya jemaat Kampung Sawah bersikap tidak peduli pada agama, namun lama-kelamaan telah menjadi lebih baik. Ia dapat membangun gereja kecil dan menjalankan sebuah sekolah bersama dengan jemaat dari Pondok Melati yang letaknya di sebelah barat laut tak jauh dari Kampung Sawah.
Jemaat Pondok Melati dilayani oleh dua orang engku 8 pembantu pribumi, Matias dan Nathanael. Kedua orang ini bergantian datang dari Kampung Sawah untuk memimpin ibadat.
Pada tahun 1891, Guru Nathanael membangun gereja bambu beratap genteng di Pondok Melati. Setelah beberapa lama, tidak begitu jelas alasan Guru Nathanael mengabaikan tugasnya memberi pelajaran kepada anak-anak. Di kemudian hari, bahkan Nathanael dipecat. Masa-masa setelah ini merupakan masa-masa pertikaian antara jemaat Protestan di Kampung Sawah dan Pondok Melati.
Perpecahan itu sebenarnya tidak mengherankan karena kondisi geografis yang sulit untuk mencapai kedua wilayah itu membuat pendeta NZV (Nederlandsche Zendlings Vereeniging -Perhimpunan Perkabaran Injil Belanda) jarang datang. Bila ada yang datang pun, kunjungan yang dilakukan singkat sehingga tak sempat mengenal jemaatnya dan tak dapat memberi bimbingan secukupnya kepada guru-guru agama lokal yang masih sangat perlu didampingi.
Setelah Nathanael dipecat sebagai guru pembantu jemaat, muncul perselisihan antara Laban, juga seorang guru dari Kampung Sawah yang menjadi murid Meester Anthing dengan beberapa orang lain yang juga menganggap dirinya tokoh.
Tanggal 21 Maret 1886 Zendling C. Albers pertama kali berkunjung ke Pondok Melati. Kedatangannya ini bukan sekedar untuk meninjau, tetapi mengajak para jemaat yang mulai terbelah-belah untuk bersatu di bawah naungan NZV. Karena kurangnya pengertian, maksud yang baik itu tidak selamanya diterima baik, terlebih dalam kelompok yang selama ini turut memimpin dan melayani jemaat, maka timbullah perbedaan pendapat yang memuncak sehingga menimbulkan perpisahan. Lima puluh satu orang beralih ke tempat kebaktian sebelah timur, di rumah Bapak Andri, dipimpin oleh Bapak Mangun Ilang dan Yosef Baiin. Kelompok ini menamakan diri Kelompok Jemaat Kampung Sawah Timur. Adapun Jemaat Kampung Sawah Barat dipimpin oleh Bapak Lukas Rikin. Selain itu ada kelompok lain yang berjumlah 45 orang dipimpin oleh Guru Nathanael.
[ Bersambung ... ]
Woiii, umat Paroki Servatius. Kalo pada punya berita apa kek, poto apa kek, kegiatan apa kek, mao nyang lingkungan, apa nyang kategorial bisa ditongolin di media, kirim aja ke : parokisantoservatius@gmail.com