Sepangkeng Kisah Gereja Katolik Kampung Sawah (5)


Dua orang petugas pos di Waterlooplein - Foto : collectie tropenmuseum

Benih Katolik Mulai Disemai

Batavia yang lengang di tahun 1896. Hati Guru Nathanael, 50 tahun, bersama beberapa rekannya masih berdegup setelah menyeberangi Kota Batavia, dari Kampung Sawah, Pondok Gede, pertigaan Heck, Mesteer, Salemba, sampai Waterlooplein.

Di tempat ini, ia melihat patung Jan Pieterszoon Coen berkuda. Ia menyeka peluh yang mulai menetes. Dua orang petugas pos bersepeda menyapanya. Lelah tak dirasakannya. Tujuannya, bersama rekan-rekan dari Kampung Sawah, adalah bertemu dengan Pastor Rum Katolik di Kathedral Batavia.

Tak lama kemudian sampailah mereka di kompleks pastoran dan keuskupan. Ia menatap sebentar bangunan kokoh yang belum jadi itu. Sebagai orang udik dari Kampung Sawah, 28 kilometer dari pusat Kota Batavia, ia pantas kagum, melihat Gereja Kathedral yang dalam bayangannya bakal sangat megah.

Guru Nathanael banyak mendengar cerita dari para tetangganya tentang orang-orang Rum Katolik. Ia yakin, dua tetangganya yang bekerja di pastoran dan di kompleks biara Ursulin di Postweg (kini Jalan Pos) dan Noordwijk (kini Jalan Juanda) telah bercerita tentang perselisihan kaum Protestan di Kampung Sawah. Perselisihan yang berbuntut pemecatan dirinya sebagai guru pembantu.

Diketuknya pintu pastoran yang merupakan tempat tinggalMonseigneur Walterus Staal S.J, Vikaris Apostolik Batavia. Ia menatap sebentar ke arah kawan-kawannya yang senasib dengannya. Mereka harus bertemu pastor Rum Katolik 10.

Seorang pastor Belanda yang berusia 40 tahun, Pastor Bernardus Schweitz, SJ, menemuinya. Engku Nathanael dan kawan-kawannya langsung menyatakan ingin menjadi Rum Katolik. Pastor Schweitz menatap mereka dengan bijaksana. Pastor yang telah 12 tahun bertugas di Flores, Lembata dan Sumba itu menyampaikan bahwa permohonan mereka akan dipertimbangkan, asal mereka bersedia mengikuti pelajaran khusus tentang ajaran Gereja Katolik.

Pastor Schweitz ingat bahwa selama ini para pegawai di pastoran yang ber-asal dari Kampung Sawah sering bercerita tentang pertengkaran saudarasaudara Protestan di kampung mereka. Lewat mereka, Pastor Schweitz tahu bahwa Guru Nathanael dan teman-temannya adalah 1 dari 3 kelompok jemaat Protestan yang saling berselisih. Pemahaman agama Kristen mereka pun masih sangat minim.

Permintaan Pastor Schweitz disetujui Nathanael dan kawan-kawannya. Sebagai langkah pertama, pastor pun meminta kesediaan Bapak Suradi, yang tinggal di Kwitang-Kalipasir, untuk membuka pelajaran khusus bagi para warga Kampung Sawah yang ingin menjadi Katolik. Para katekumen pertama ini adalah Nathanael, Tarup Noron dan Markus Ibrahim Kaiin. Ketiganya, sebelumnya telah menjadi guru injil jemaat Protestan. Selain itu ada Yosef Baiin dan Sem Napiun.

A. Pembaptisan dan Hari Lahir Gereja Katolik Kampung Sawah

Tanggal 22 Juni 1896, Guru Nathanael pun dibaptis oleh Pastor Schweitz. Beberapa bulan kemudian, Pastor Schweitz pun berkelana, dari pastoran Katedral menggunakan kereta kuda sampai Kampung Melayu, lalu dengan menyewa seekor kuda melanjutkan perjalanan menembus rimba belantara, melewati tanah-tanah partikelir perkebunan yang becek ketika hujan sampai Kampung Sawah.

Bila musim kemarau, perjalanan dapat ditempuh dalam waktu 4 jam. Akan tetapi bila hujan sudah turun, semua jalan kecil ke arah Kampung Sawah menjadi kubangan lumpur yang licin. Puncak kunjungan Pastor Schweitz adalah pada tanggal 6 Oktober 1896, ketika ia membaptis 18 anak Kampung Sawah. Inilah hari bersejarah, hari “kelahiran” umat Katolik Kampung Sawah.

Selanjutnya, Pastor Schweitz, yang tetap tinggal di pastoran Katedral, berkunjung ke Kampung Sawah sekali dalam satu-dua bulan. Pada tanggal 8 Desember ia datang lagi dan membaptis 3 anak. Mengingat umat yang mulai tumbuh, Pastor Schweitz pun berniat mendirikan gereja, maka dengan izin tuan tanah keturunan Cina dari Pondok Gede, Pastor Schweitz membeli sebuah rumah desa yang sebagian ditata bagi keperluan ibadat.

Tahun 1897, siaplah sebuah “gereja” gubuk yang sederhana. Gereja kecil seharga 70 gulden itu dapat menampung sekitar 50 umat. Guru Nathanael pun diangkat menjadi ketua stasi dan guru agama. Bersama guru pembantu bernama Markus Ibrahim Kaiin dibuka juga semacam sekolah bagi anak-anak kampung.

Ketika pada akhir tahun 1897 jumlah baptisan Katolik sudah mencapai 47 orang, Gubernur Jendral Hindia Belanda sempat menyatakan keberatannya, namun peringatan ini rupanya tak diindahkan oleh Pastor Schweitz. Terbukti, pada bulan Mei 1898 ia mempermandikan 10 orang lagi. Benih iman yang baru tumbuh belum lagi matang, Pastor Schweitz jatuh sakit dan harus cuti ke Belanda pada tahun 1898.

Maka Pastor Edmundus Luype, S.J, yang menggantikan Monseigneur W.Staal, SJ sebagai Vikaris Apostolik Batavia pun menunju Pastor A. Kortenhors SJ untuk menggantikan Pastor Schweitz.

Pastor A. Kortenhorst, S.J secara berkala membaptis umat Katolik Kampung dan melaksanakan Perayaan Ekaristi Kudus dengan menggunakan doa-doa bahasa Latin. Kotbah disampaikan dengan bahasa Indonesia bercampur Belanda yang kaku. Bila tak ada pastor, Guru Nathanael, dengan pemahaman iman Katolik yang masih seadanya, memimpin ibadat hari Minggu pagi dan mendoakan litani-litani yang dipetik dari Buku Pemimpin Serani. Pada tahun 1900 tercatat jumlah umat 78 orang.

B. Kisah Lunglainya Benih Iman di Kampung Sawah

Pada masa itu terdapat “artikel 177” dari Kitab Hukum Kolonial yang memberi kekuasaan kepada Gubernur Jendral untuk melarang setiap bentuk pengabaran Injil di antara golongan bumiputera, bilamana berpotensi memicu kerusuhan. Mengingat kesulitan yang baru dialami di Sulawesi Utara yang berkaitan dengan hukum tersebut, Monseigneur Luypen pun berinisiatif meminta izin resmi kepada Gubernur Jendral Rooseboom bagi pelaksanaan karya Gereja Katolik di Kampung Sawah. Meski di Kampung Sawah tidak ada kerusuhan, permintaan itu ditolak! Penolakan itu membuat hubungan antara umat Kampung Sawah dan para imamnya mesti dijalankan secara gelap. Bahkan, antara tahun 1902 sampai 1904, Gereja Katolik dilarang oleh pemerintah kolonial di Batavia untuk menyelenggarakan kegiatan di Kampung Sawah dan sekitarnya. Akan tetapi, di masa akhir pelarangan, justru pada 10 Agustus 1904, Pastor Kortenhorst sempat mempermandikan 19 umat Katolik Kampung Sawah.

Benih iman yang baru menggeliat, tiba-tiba lunglai ketika pada awal tahun 1905, Guru Nathanael sempat berurusan dengan polisi. Mengingat persoalan membesar, maka Nathanael yang sebagai katekis dan guru digaji 15 gulden diberhentikan oleh Pastor Kortenhorst. Pemberhentian ini membuat iman Nathanael goyah. Ia pun melirik pada ajaran Gereja Methodis yang pada saat itu mulai disebarkan dari Kota Buitenzorg (sekarang Bogor). Tahun 1906, Nathanael terbujuk masuk Gereja Methodis. Tepat pada bulan Juni 1906, ia membawa sebagian besar umat Katolik Kampung Sawah untuk menyeberang ke Gereja Methodis. Penyeberangan ini diperkuat oleh jarangnya kunjungan pastor pada saat itu.

Pada tahun ini, tercatat hanya Guru Markus lah, yang menggantikan Nathanael, yang bertahan dalam ketegaran iman Katolik. Catatan dokumentasi lunglainya iman Katolik di Kampung Sawah bisa dipaparkan sebagai berikut. Jumlah umat pada tahun 1906 mencapai 130 orang, dan pada tahun yang sama masih ada 4 orang yang dibaptis. Tahun 1907 meski ada tiga baptisan, akibat begitu banyak umat yang menyeberang, jumlahnya tinggal 34 orang, yang pada tahun yang sama merosot menjadi 15 orang. Tahun 1908 kosong, tahun 1909 dua, tahun 1910 kosong, tahun 1911 kosong, tahun 1912 – 1914 kosong, tahun 1915 dua, tahun 1916 – 1917 kosong. Kondisi ini diperburuk, ketika pada tahun 1917 Pastor Kortenhorst, S.J wafat pada usia 69 tahun.

C. Kampung Sawah yang Hampir Ditinggalkan

Setelah melewati petualangan berat menuju Kampung Sawah, di suatu hari pada tahun 1917 itu, Pastor A.Mathijsen, SJ yang telah berusia 59 tahun itu kaget sekali. Ia yang baru ditunjuk untuk menghidupkan kembali umat Kampung Sawah, hanya menemukan 1 keluarga Katolik, yaitu keluarga Pak Markus. Kampung Sawah telah diserahkan ke Paroki Kramat, paroki yang dikepalainya. Namun keadaannya begitu menyedihkan. Gereja “gubug” dan pastoran bahkan sudah tidak ada lagi. Telah dibongkar oleh umatnya sendiri, tanpa sisa.

Maka sekembalinya ia ke Kramat, ia menulis surat kepada Pastor Hoeberechts, superior Serikat Yesus di Indonesia, “Tidak mungkin berbicara lagi tentang misi Rum Katolik di Kampung Sawah. Kenyataannya ialah tinggal satu keluarga Katolik.”

Pastor Hoeberecht membalasnya, demikian, “Saya harap Pastor telah menyampaikan pendapatnya kepada Monseigneur. Kalau tidak, saya mohon dengan hormat supaya Pastor sudi mengabarkannya kepada Monseigneur. Monseigneur telah mempersalahkan para pastor Batavia menelantarkan kampung itu. Setelah menyampaikan pendapat, ikutilah petunjuk beliau. Sayang keadaan umat Katolik pribumi itu parah sekali, namun dengan mengeluh kita tidak akan maju. Sesudah berbicara dengan Monseigneur, Pastor mesti membuat yang sama dengan Pater Sondaal. Biar merekalah yang mengambil keputusan apakah pekerjaan di kampung itu akan diteruskan atau tidak?”

[ Bersambung ... ]

Woiii, umat Paroki Servatius. Kalo pada punya berita apa kek, poto apa kek, kegiatan apa kek, mao nyang lingkungan, apa nyang kategorial bisa ditongolin di media, kirim aja ke : parokisantoservatius@gmail.com