Sepangkeng Kisah Gereja Katolik Kampung Sawah (6)


Gereja Matraman tempo doeloe - Foto : ziarahgereja.blogspot

Gereja Kampung Sawah Bangkit Lagi

A. Surat Umat yang Menyelamatkan

Gereja Metodis mulai mendapatkan masalah di Jawa Barat. Saat itu jemaat Methodis Kampung Sawah memakai rumah seorang Katolik yang telah pindah ke aliran Methodis sebagai gedung gereja mereka. Sang pemilik rumah dan banyak jemaat lainnya meminta Pak Markus bersedia menjadi pemimpin ibadat, jika Gereja Methodis jadi angkat kaki dari Kampung Sawah. Mengetahui hal ini Pendeta Albers pun mulai mengunjungi Pak Markus untuk meyakinkannya tentang melesetnya ajaran Katolik.

Meski Pak Markus orang yang bersahaja dan kurang sekali pengetahuannya, ia tak mau mengalah. Maka terjadilah, Pak Markus, umat Katolik Kampung Sawah yang teguh, menjadi pemimpin di Gereja Methodis.

Dengan bangga, Pak Markus yang bersahaja itu mengabarkan kepada pastor di Batavia, bahwa Gereja Katolik di Kampung Sawah mulai bersemi kembali. Namun akibatnya selama beberapa hari Minggu berturut-turut, upacara ibadat di gerejanya dikacaukan oleh gerombolan orang Kristen, yang dipimpin oleh dua orang guru agama. Salah satunya adalah Guru Benyamin Kadiman, guru sekolah di Desa Bojongrawalele. Mereka berhasil mengusir Pak Markus dari mimbarnya. Kelompok Markus mengadakan protes yang tegas, dan menang. Pak Markus bersama teman-temannya telah menabur lagi benih sejarah umat Katolik Kampung Sawah.

Pada masa itu juga, yaitu pada tahun 1920, Pastor Yoanes van der Loo, SJ ditunjuk sebagai pengganti Pastor Mathijsen. Pastor Yesuit Belanda berusia 48 tahun itu tinggal di Kramat dengan tugas khusus melayani umat Katolik Kampung Sawah. Di tengah situasi para gembala yang masih mondar-mandir di Kampung Sawah, kabar bahwa stasi Kampung Sawah mungkin akan ditinggalkan oleh Gereja Katolik, malah tercium oleh sejumlah warga. Mereka pun menyusun sepucuk daftar dengan 150 nama, disertai permohonan agar sekali sebulan pastor mau datang ke Kampung Sawah untuk merayakan Misa Kudus.

Situasi ini ditulis Pastor van der Loo di majalah Misi Yesuit, “Para Metodis telah memberhentikan usaha mereka dan menyerahkan para anggotanya kepada kaum Protestan. Namun hal itu tak jadi: orang-orang tidak mau menjadi Protestan, melainkan datang melapor kepada saya, ingin bersama-sama membentuk jemaat Katolik, disertai permohonan mendesak, agar pastor Katolik berkenan secara teratur memberi pelayanan rohani kepada mereka, pun pula menyediakan sebuah Gereja. Nah, kalau orang ingin menjadi Katolik, tidak berlebihan bila mereka minta seorang pastor dan sebuah tempat ibadah. Namun saya minta bukti kesungguhan hati mereka, maka saya mengusulkan supaya katekis, yang sudah ada sejak sekian tahun, kini mau mulai bekerja dengan benar dan supaya orang-orang yang bersikap tulus terhadap agama Katolik, akan menyuruh anak-anak mereka setiap hari mengikuti pelajaran agama.”

Pastor van der Loo yang menyukai berkarya penuh tantangan berharap mendapat izin dari atasannya untuk menetap di tengah umatnya. Sayang sekali, pimpinan Serikat Yesus tidak sependapat dengan Pastor van der Loo.

Ketika Pastor Cremers, O.F.M (yang baru pada tahun 1935-1940 berkarya di Kampung Sawah) bertanya kepada seorang tokoh S.J di Indonesia, apakah Serikat Yesus hanya karena kekurangan tenaga tidak pernah mau menempatkan seorang imam di Kampung Sawah, sang tokoh menjawab, “Bukan begitu, sebenarnya kami tidak melihat manfaat dalam menempatkan tenaga di sana!”

B. Guru Benyamin, dari Penyerang Menjadi Penuntun

Pastor van der Loo tak kenal menyerah untuk memperhatikan Kampung Sawah. Kebetulan ia bersahabat dengan Dokter Wis, bekas kepala sekolah Metodis di Singapura yang kini telah pindah ke Jakarta dan telah menjadi Katolik. Guru Benyamin Kadiman, yang di masa lampau pernah menyerang Pak Markus, pernah belajar di sekolah yang dipimpin oleh Dokter Wis di Singapura, maka ia kerap datang ke tempat praktik Dokter Wis di Pintu Air. Pastor van der Loo pun kerap bertemu dengan Guru Benyamin. Meski Benyamin masih menganut Protestan, namun ia telah menyatakan diri sebagai simpatisan Katolik. Maka ketika kesehatan Pastor van der Loo menurun, dan ia membutuhkan seorang kepala stasi Kampung Sawah yang berkepribadian kuat, ia pun mengangkat Benyamin. Pak Markus, meski setia tapi dirasa kurang berwibawa untuk mendampingi umat yang makin bertambah. Benyamin, yang pada saat itu masih menganut Protestan, dipilih menjadi penuntun umat Katolik Kampung Sawah. Ketika mengangkat Benyamin, Pastor van der Loo sesungguhnya berharap ia masih mampu mendampingi asistennya itu, namun kesehatannya semakin menurut. Meski demikian, pada tahun 1921, umat yang dulu menyeberang ke Gereja Methodis, pulang ke pangkuan Gereja Katolik. Umat yang semula berjumlah 20, langsung melonjak menjadi 150. Setahun kemudian, Pastor Loo berhasil mengajak umat membangun gedung gereja kedua milik umat Kampung Sawah. yaitu sebuah gereja kecil yang dilengkapi sebuah menara, di tanah persawahan, di lokasi gereja sekarang. Akan tetapi, sebelum gereja selesai, ia harus kembali ke negeri asalnya karena sakit.

Pengganti Pastor van der Loo adalah Pastor van Driel, S.J, pastor yang masih berusia 39 tahun. Ia diserahi tugas membina Kampung Sawah dari Paroki Matraman. Monseigneur A.van Velsen, Vikaris Apostolik Batavia yang baru memang telah memutuskan bahwa untuk melayani Kampung Sawah, pastor sebaiknya tinggal di Matraman yang lebih dekat letaknya.

Urusan keseharian dan pelayanan rutin di daerah Kampung Sawah ditangani sepenuhnya oleh Guru Benyamin, yang bersama semua anaknya dibaptis dalam Gereja Katolik pada tahun 1923. Sebagai kepala stasi, Benyamin telah memberi teladan yang baik, ia berhasil dalam mempertahankan jumlah dan mutu umat Kampung Sawah.

C. Pastor van Driel SJ dan Sepedanya

Suatu hari di tahun 1922. Matahari pagi baru tersenyum, sesaat setelah hujan yang baru saja berhenti. Inilah saatnya kunjungan ke Kampung Sawah. Dengan jubah hitamnya, Pastor Y.van Driel, SJ langsung mengayuh sepedanya dari pastoran Matraman. Ia harus menempuh jarak 22 kilometer menuju perkampungan becek dan licin. Ia menuju stasiun Manggarai. Di sini telah menunggu kereta bumel yang akan membawanya ke Stasiun Depok. Pastor muda ini langsung menumpangkan sepedanya di gerbong bagasi.

Kereta api pun bergerak lambat, berhenti setiap 3 kilometer untuk menaikkan penumpang. Pastor yang sebelumnya telah bertugas selama 4 tahun di Tomohon dan Kendari itu menatap sawah-sawah yang menghijau sambil mendaraskan doa-doa harian, memuji keagungan Tuhan. Sesampainya di Stasiun Depok, ia langsung mengayuh sepedanya ke arah timur, menyusuri hamparan persawahan.

Setelah beristirahat di warung untuk menghirup kelapa muda segar, Pastor van Driel pun menyusuri hutan karet di Kampung Cibubur. Ada sebuah situ yang indah. Ia meneruskan perjalanannya di jalan yang sangat licin akibat basah hujan di Pondok Ranggon Udik. Dari sini ia meneruskan perjalannya ke arah Perkebunan Pondok Gede. Ia pun sampai di Kampung Ganceng, hmm tinggal melewati tiga legok persawahan sampai Kampung Pabuaran.

Sesaat Pastor Driel berhenti sejenak ketika mendengar anak-anak menyanyikan mantera ceria berulang-ulang sambil menjepitkan batang padi yang sudah direnggangkan di bibir bagian bawah mereka, “Pang-ping, pang-ping kelabang lagi bunting, diantup kalajengking terjungkang jungking…”

“Ah, mereka sedang main gogolio!” gumam Pastor Driel.

Beberapa umat Katolik menyapanya, meminta mampir, namun ia harus tiba di pastoran lebih dulu, atau tepatnya ke sebuah bilik yang bersebelahan dengan dinding papan altar gereja.

Sesampai di pastoran, setelah beristirahat dan menjemur jubah hitamnya, ia siap menunggu kepala stasi. Betul saja, tak lama kemudian, Engku Benyamin Kardiman menghadap beliau. Benyamin langsung berkeliling mengajak orang menghadiri pelajaran agama oleh pastor. Sesaat kemudian para tamu bermunculan, sebagian besar ingin minta obat, pekerjaan, uang, pinjaman dan pakaian. Tak banyak yang minta siraman rohani, kecuali pasangan-pasangan yang minta perkawinannya diberkati saat pastor datang lagi nanti. Malamnya, Pastor diantar Guru ke gubuk seorang uwak untuk menerimakan Sakramen Pengurapan.

Pagi hari, saat matahari mulai mengintip dari pepohonan Kampung Pedurenan di sebelah timur gereja, Pastor pun mempersembahkan Misa Kudus dalam bahasa Latin. Sebelum misa, ia sempat teringat kejadian ketika ia mempersembahkan misa seminggu setelah Paskah, dan umat dengan sangat lambat menyanyi, “Malam Kudus, Sunyi Senyap…”. Ah, sambil tersenyum ia menghalau rongo-rongo12. Pastor siap memulai Misa Kudus.

 

[ Bersambung ... ]

Woiii, umat Paroki Servatius. Kalo pada punya berita apa kek, poto apa kek, kegiatan apa kek, mao nyang lingkungan, apa nyang kategorial bisa ditongolin di media, kirim aja ke : parokisantoservatius@gmail.com