Sepangkeng Kisah Gereja Katolik Kampung Sawah (7)
Pastor Driel bersama beberapa umat di Gedung Gereja Kampung Sawah kedua (1930) - Foto : Dok. Paroki Kampung Sawah
Pastor Mulai Tinggal di Kampung Sawah
A. Lampu Cabrok Itu Mulai Terang
Tanggal 24 Mei 1935, Pastor Oscar Cremers, O.F.M tiba di Kampung Sawah. Ia baru selesai mandi. Matanya langsung mengitari bilik sempit di pojok timur gereja di belakang altar yang bakal jadi tempat tinggalnya.
Ia pun menulis sebuah catatan perjalanan yang baru saja dialaminya,
“Jumat sore 24 Mei pukul empat aku berada di sini. Pastor Victorius kepengin sekali mengantar saya ke tujuan, dan ia menolak menunggang kuda. Mengingat barangku banyak, memang lebih baik memakai mobil daripada naik sado. Maka kami mencoba mengunakan mobil melalui jalan memutar. Berulang kali kami terjebak dalam lumpur, namun kami tidak berkecil hati. Juga ketika kami sudah yakin tidak akan mencapai tujuan pakai mobil, kami tidak putus asa. Mobil ditinggalkan, barangnya dipikul orang dan kami sendiri berjalan kaki…Kami tiba di sebuah selokan yang di atasnya diletakkan cuma dua batang bambu. Pastor Victorius berhenti dan tanpa pikir panjang, ia minta diri. Nekad ia membalik. Seorang diri saya meneruskan perjalanan menuju hari depan yang baru. Gerejanya sudah tampak.”
Pastor Cremers adalah pastor ketiga dari Ordo Saudara-Saudara Dina Santo Fransiskus dari Asisi (O.F.M) yang semenjak tahun 1930 meneruskan karya Serikat Yesuit di Kampung Sawah. Namun Pastor Cremers adalah pastor pertama yang tinggal menetap di Kampung Sawah.
“Pastur Cremers mulai berpasturan di dalam gereja!” demikian catatan Parochiae Domus Romo Daroewenda SJ.
“Pastur Cremers juga berpasturan di dekat gereja. Punya mobil kecil dan garage alias kandang montor. Punya toestel (kamera) untuk foto-foto. Membaca koran dari kota. Makanan dari kota dan lain-lain dari kota dengan juga ada pertolongan dari Tuan Tanah Pondok Gede. Banyak hubungan dengan lurahlurah dan Tuan onderneming, dan semua yang bernama besar di daerah sekeliling.”
Tak berapa lama setelah tiba, Pastor Cremers langsung mengajak umat untuk merencanakan membangun gereja dan pastoran baru. Gereja lama telah bobrok bangunannya. Malah rayap telah menggerogoti meja altar dan Patung Hati Kudus Yesus. Untuk pencarian dana, ia membuat foto-foto Kampung Sawah untuk dimuat di majalah Vriendend van Sint Antonius di Belanda. Monseigneur Petrus Willekens, S.J, Vikaris Apostolik Batavia pun ikut menyisihkan dana yang diperoleh dari kampung halamannya untuk Kampung Sawah.
“Tanah gereja pada awalnya adalah milik Pak Muin, “ungkap Bapak Yepta Noron, “Tanah ini dijual kepada Uwak Nathanael. Oleh beliau, tanah terebut dihibahkan kepada anak pertamanya, yaitu Ibu Sopiah N a t h a n a e l . D a l a m perjalanannya, oleh Bapak Yosef Nathanael, adik Ibu Sopiah, tanah tersebut dijual dengan harga Rp200,- per meter. Hasil penjualannya dibagi dua, sama rata, lalu tanah tersebut dijual lagi dan dibeli oleh Pastor Cremers. Luas tanah yang dibeli adalah sekitar 1.000 meter persegi.”
Monseigneur tak hanya memberikan dana, namun pada tahun 1936 juga mengangkat stasi Kampung Foto: Seminari Tinggi Santo Paulus Monseigneur Petrus Willekens, S.J Sawah, yang sudah 40 tahun dilayani oleh imam-imam dari paroki Katedral, Kramat dan Matraman, menjadi paroki sendiri dengan nama pelindung Santo Antonius dari Padua. Surat resmi yang ada pada arsip Keuskupan agung Jakarta adalah Stichtingsbrief van het Inheemsch R.K. Kerk en Armbestuur van de Kerk van den H.Antonius van Padua te Kampoeng Sawah yang baru dikeluarkan tanggal 12 Maret 1941.
Paroki St.Antonius Padua Kampung Sawah memang secara iuridis menjadi Foto sebuah keluarga besar di Kampung Sawah tahun 1935. Banyak di antaranya, seperti Nias Pepe, Sem Napiun, adalah tokoh gereja Katolik. paroki kelima dari Vikariat Apostolik Batavia (di kemudian hari menjadi Keuskupan Agung Jakarta) setelah Paroki Katedral (1808), Matraman (1909), Kramat (1920) dan Theresia (1930), namun bila mengacu pada arsip tadi, Kampung Sawah menjadi paroki ketujuh, sesudah Kemakmuran (1938) dan Mangga Besar (1940).
Setelah mengalami proses pembangunan yang memerlukan kesabaran pastor dan umat, akhirnya gereja pun jadi dan pada tanggal 23 September 1937, gedung gereja berukuran 11x24 meter, dengan tembok batu setinggi 2 meter dan papan-papan kayu sampai atas pun diberkati. Sebuah menara mungil mempermanis gereja kecil itu. Umat Katolik Kampung Sawah seolah seperti lampu cabrok yang mulai terang.
B. Cabrok di Kampung Sawah pun Makin Terang
Pastor Cremers sangat berminat menerangi Kampung Sawah lewat pendidikan. Pada tanggal 24 Oktober 1936 ia memberkati Sekolah Misi (Vicoobcikal bakal Strada) yang sudah berfungsi sejak 1925, tapi yang baru saja selesai dipugar. Pada hari yang sama ada 10 anak yang diperkenankan menerima Komuni Kudus untuk pertama kali. Koor paroki, yang dibintangi Lewi Noron, yang seharian bekerja sebagai koster gereja, pembantu pastoran dan tukang kebun, menyanyi lagu enam suara! Hari berikutnya, sebuah pesta rakyat bagi 60 murid sekolah, para orang tua serta warga paroki diselenggarakan.
Pastor tak berhenti di situ. Ia mengirim beberapa pemuda ke Jakarta untuk mengikuti Cursus voor Voksonderwijzer atau Sekolah Guru Desa. Pemuda yang dikirim antara tahun 1936-1938 itu, yaitu Sulaiman dan Stefanus Kadiman, Martinus dan Petrus Napiun serta Lukas Pepe. Ketika sudah lulus, mereka ditempatkan di sekolah-sekolah Misi di bilangan Paroki Kampung Sawah. Tugas pertama mereka jelas, mencari murid-murid sendiri, setelah berkumpul, mereka jadi gurunya dengan gaji awal Rp11,- sebulan.
Selama Pastor Cremers tinggal di Kampung Sawah, Gereja Katolik mengalami kemajuan di bidang pendidikan yang amat mencolok. Jumlah sekolah yang berdiri adalah 11 sekolah dengan jumlah murid lebih dari 377 orang. Pastor Cremers yang dalam pelayanannya sangat dibantu oleh Bapak Raden Christophorus Soebroto Brotodirdjo dan Bapak Aloysius Poespasoepadma terus mengembangkan pendidikan, meski sebagian besar sekolahnya masih menumpang di ruangan-ruangan yang disewa dari masyarakat.
Catatan Parochiae Domus dari Romo Daroewenda SJ menyebutkan demikian,
“Brotodirdjo itu berhubungan dengan lurah-lurah, mandor-mandor di lingkungan Kampung Sawah. Mereka ditujukan kepada kemajuan dengan sekolah. Anak-anak dapat pendidikan, orang-orang tua terikat hati dengan anaknya yang diserahkan kepada guru-guru.”
Tak berhenti di situ, pada tahun 1938, 2 anak keturunan Cina Kampung Sawah, Aloysius Entong Lim Tjian Lan dan Yuventius Yosef Tjiploen dikirim Pastor Cremers ke pusat pendidikan Katolik di Tomohon, Sulawesi Utara.
Untuk mempersatukan para guru dan menambah jiwa kerasulan mereka, Pastor Cremers mendirikan sebuah perkumpulan Unio Institutorum. Sebulan sekali, para Tuan Guru memakai topi capyo15 atau pakai topi laken berkumpul di pastoran guna memperoleh bimbingan khusus dari pastor. Dalam pertemuan berkala itu orang wajib memakai bahasa Melayu. Mereka yang ngomong Jawa atau Belanda langsung didenda.
C. Cikal Bakal Perayaan Sedekah Bumi
Peran Guru Poespa sebagai pendamping Pastor Cremers sangat besar. Bahkan tercatat, ia berhasil membujuk Pastor Cremers memberkati panen padi umat. Pastor setuju. Maka terjadilah sebuah upacara Sedekah Bumi pertama yang masuk sebagai tradisi inkulturasi gereja. Kegiatannya dilakukan di di halaman rumah Pak Yafet Napiun dan Pak Nias Pepe. Bentuknya sederhana. Pemberkatan panen dan pembagian sebagian panenan itu kepada para penderep, orang-orang yang membantu si empunya sawah untuk memetik panenan.
Tradisi ini kemudian juga dilaksanakan dalam wujud persembahan dalam ekaristi di mana umat menyerahkan hasil buminya langsung kepada Tuhan dalam misa kudus di gereja. Kelapa, durian, nangka, rambutan, singkong, padi, dan berbagai hasil bumi lain adalah sebuah pemandangan yang jamak ditemui pada persembahan-persembahan di Gereja Kampung Sawah saat itu.
Acara Sedekah Bumi di kemudian hari dikembangkan menjadi sebuah upacara khusus di Gereja Kampung Sawah sekitar tahun 1996. Tanggalnya adalah setiap 13 Mei, tanggal pesta nama Santo Servatius.
D. Pastor Cremers dan Kesehatan Masyarakat
Di bidang kesehatan, di masa penggembalaan Pastor Cremers, berkat dukungan perkumpulan sosial “Het Sing Melania Werk voor Java”,16 yang terdiri dari ibu-ibu Belanda dan pribumi, didirikanlah poliklinik di Kampung Sawah tahun 1935. Perkumpulan ini juga ikut memugar sekolah yang sudah ada. Suster-suster awam dari klinik itu menjadi terkenal sebagai pengabdipengabdi rakyat jelata. Baru pada tahun 1937, Suster Deetje Win Hamer datang ke Kampung Sawah, yang disusul oleh Suster Gwan Lin Nio.
Menjelang hari-hari raya Natal dan Paskah, pastor suka membagi hadiah kepada umatnya yang kekurangan seperti makanan kaleng dari Jakarta, pakaian bagus untuk perempuan, celana dan piyama bekas untuk lelaki.
Pada tahun 1939, datang Pastor Cornelius Remmen, O.F.M. Di saat umat Kampung Sawah mencapai 400 jiwa, Pastor Cremers dipindahkan ke Rangkasbitung, maka Pastor Remmen pun menjadi pastor kepala. Pastor ini senang mengajar umat Kampung Sawah menyanyi lagu Gregorian.
E. Awam Pegang Peranan
Jatuhnya Belanda ke tangan Jerman tahun 1940 pada Perang Dunia II, membuat ketenteraman Pastor Marinus Kuster, S.J, yang pada saat itu menggembalakan Kampung Sawah, terusik. Apalagi saat tanggal 5 Maret Jepang menduduki Jakarta. Jepang pun menyeret para rohaniawan berkebangsaan Belanda ke kamp tahanan, termasuk Pastor Kuster. Awal 1943, Pastor B.Soemarno, S.J, kadang-kadang muncul di Kampung Sawah, namun tugas penggembalaannya menjangkau sampai Sukabumi dan Rangkasbitung. Hasil-hasil pertanian, termasuk di Kampung Sawah, harus dipotong separo untuk penguasa. Tenaga penduduk pun diperas. Meski Kampung Sawah daerah agraris, pada zaman Jepang, rakyatnya makin miskin. Tidak ada alat angkutan, maka mereka sulit memasarkan buah-buahan ke Jakarta.
Pada saat-saat genting tersebut, peran awam sungguh berarti. Bapak Poesposoepadma selalu siap mengadakan Ibadat Sabda. Demikian juga Bapak Benyamin Kadiman yang tetap aktif. Pak Poespo tinggal di Kliik Melania yang sudah tidak beroperasi lagi karena persediaan obat sudah habis. Obat-obat tradisional pun menjadi populer.
Mulai tahun 1943, Pastor H.Voogdt, Pr, sebagai pastor kepala Matraman, menggembalakan Kampung Sawah. Monseigneur Willekens pun tidak tinggal diam. Beliau, yang tidak punya mobil atau kereta kuda lagi, naik sepeda berjubah menuju Bidara Cina. Setelah menginap di pastoran, esoknya ia diantar para putra altar Polonia menuju Kampung Sawah, bersepeda.
[ Bersambung ... ]
Woiii, umat Paroki Servatius. Kalo pada punya berita apa kek, poto apa kek, kegiatan apa kek, mao nyang lingkungan, apa nyang kategorial bisa ditongolin di media, kirim aja ke : parokisantoservatius@gmail.com