Seminar “Menyiasati Potensi Radikalisme Generasi Z dan Upaya Kita menjadi Pelaku Kebhinekaan”


Pemahaman yang baik dan benar akan melahirkan perilaku yang baik dan benar”.Demikian penggalan kata sambutan dari Romo Yohanes Wartaya.S.J selaku Romo Paroki St.Servatius saat membuka Seminar “Menyiasati Potensi Radikalisme Generasi Z dan Upaya Kita menjadi Pelaku Kebhinekaan” pada Minggu (30/9/2018) di Paroki St. Servatius, Kampung Sawah. Adapun seminar yang berlangsung pada pukul 11.00-15.00 WIB

Seminar didahului dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Kita Bhinneka, Kita Indonesia 

Selanjutnya K.H Muslih Nashoho selaku  Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) memaparkan bahwa radikal bersifat universal, sistematis dan obyektif. Sedangkan radikalisasi merupakan proses menjadikan pengikutnya cerdas, kritis dan dewasa. Radikalisme bersifat melakukan perubahan secara cepat dan menggunakan kekerasan serta mengatasnamakan agama juga menjadi ibu yang akan melahirkan terorisme. Faktor-faktor yang dapat menjadikan seseorang radikal yaitu ketidakadilan, kemiskinan, termarjinalkan/terpinggirkan dan kebodohan. Namun, faktor utama adalah pemahaman yang kurang atau tidak tepat akan ajaran atau nilai agama. Untuk menangkal radikalisme dan terorisme, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme membuat strategi dengan deradikalisasi yaitu suatu proses atau program untuk menjadikan orang-orang radikal menjadi tidak radikal. Deradikalisasi dilakukan dengan pendekatan-pendekatan psikologis, sosial, agama, ekonomi, pendidikan dan kemanusiaan serta dilakukan baik di dalam maupun di luar lembaga pemasyarakatan (lapas). Selain itu beliau juga menguraikan salah satu tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah melakukan kontra narasi melalui media, khususnya media sosial. Media sosial yang dijadikan media promosi oleh aktivis radikalisme harus dilawan antara lain dengan keberanian menyebarkan berita positif. Akhirnya beliau mengajak segenap masyarakat untuk berperan aktif dalam program deradikalisasi ini.

Radikalisme dan fundamentalisme yang terwujud dalam wajah kekerasan atas nama agama masih saja dijumpai di banyak negara tidak terkecuali, di Indonesia. Terjadinya kekerasan dengan mengatasnamakan agama tentu saja sangat memprihatinkan mengingat agama yang bermisi kedamaian menjadi tereduksi dengan tindakan-tindakan yang bertentangan pada nilai agama. Padahal sejatinya seluruh dimensi kehadiran agama haruslah senantiasa mengemban misi penyelamatan manusia (the salvation of man) dalam kehidupan. Beliau juga menjelaskan bahwa kelompok dalam umat Islam yang menafsirkan Kitab Suci secara harafiah, literal dan tanpa tafsir ini telah ada sejak jaman kekafilahan di awal kejayaan kerajaan Islam. Dan kelompok ini terus berkembang, melahirkan prinsip jihad secara keliru karena tuna referensi, senang memenggal ayat dan tak mengerti arti keseluruhan Kitab Suci. Situasi ini diperparah dengan situasi geopolitik di kawasan Timur Tengah yang dibawa dalam ”kemasan” agama ke Indonesia. Ditegaskan pula bahwa strategi deradikalisasi yaitu meluruskan kembali ajaran dengan menguatkan pemahaman Kitab Suci hingga menjadi lebih kontekstual dan menyeluruh.

Usai pemaparan dari para narasumber, moderator membuka kesempatan bagi para hadirin yang akan mengajukan pertanyaan seputar materi yang telah dipaparkan tersebut.

Rangkaian seminar ditutup dengan pemberian kenang-kenangan dan makan siang bersama lalu moderator dan para narasumber lalu foto bersama.

Liputan : Gregorius Aldi Bagaskoro

 

Woiii, umat Paroki Servatius. Kalo pada punya berita apa kek, poto apa kek, kegiatan apa kek, mao nyang lingkungan, apa nyang kategorial bisa ditongolin di media, kirim aja ke : parokisantoservatius@gmail.com